Selasa, 09 Maret 2010

BEBAN SOSIAL YANG DITANGGUNG PENCARI KEADILAN (JUSTITIABELEN) DI KOTA PADANG

Negara Indonesia adalah Negara Hukum ini petikan dari Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara 1945. Konstitusi Negara meletakkan Negara Indonesia sebagai Negara yang mengakui keberadaan Hukum sebagai lembaga yang di hormati[1] pada hubungan bernegara dan antar warga Negara. Keberdaan Hukum sebagai lembaga yang berkuasa dan dihormati dalam Negara merupakan Konsep Negara Hukum. Konsep Negara hukum bertujuan untuk mewujutkan cita-cita hukum yaitu Perlindungan Hukum bagi Warga Negara dan HAM, yang selaras dengan cita-cita konstitusi yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial [2]

Konsep Negara Hukum dilaksanakan beberapa negara dengan berbagai tipikal[3] yaitu:

a. Tipe Negara Hukum liberal yakni Tipe Negara Hukum yang menghendaki supaya Negara berstatus pasif artinya bahwa warga Negara harus tunduk kepada peraturan-peraturan Negara, penguasa bertindak sesuai hukum, dan kaum liberal menghendaki penguasa dan yang dikuasai ada persetujuan dalam bentuk hukum, serta persetujuan yang menjadi penguasa.

b. Tipe Negara Hukum formil yaitu Negara hukum yang mendapat pengesahan dari rakyat tentang segala tindakan penguasa memerlukan bentuk hukum tertentu, harus berdasarkan undang-undang. Negara hukum formil ini disebut juga dengan Negara Demokratis yang berlandaskan Negara hukum[4].

c. Tipe Negara Hukum materil adalah perkembangan dari Negara hukum formil; tindakan penguasa harus berdasarkan undang-undang, berlaku azas legalitas maka dalam Negara hukum materil tindakan penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan warga Negara dibenarkan tindakan menyimpang dari undang-undang atau berlakunya azas opportunitas.

Dalam pandangan hukum dan kekuasaan, hukum dianggap sebagai aturan-aturan yang bersifat formil, ini mengakibatkan berkuasanya lembaga formil[5] bentukan dari system hukum[6], yang mana perangkat-nya yaitu peraturan perundang-undanngan dan penegak hukum. Di Indonesia berlaku system hukum yang bercorak campuran[7], ini dikarenakan proses sejarah pembentukan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Philip Nonet dan Philip Selznick mengenalkan tiga tipe hukum yaitu hukum yang repressive, autonomy, dan responsive. Tetapi ketiga tipe hukum tersebut tidak akan dapat dilihat secara mandiri, karena dipengaruhi oleh kekuasaan. Maka menurut mereka terdapat tipe hukum transisi[8]. Transisi hukum repressive ke hukum otonomy adalah untuk kepentingan pemerintah untuk memperoleh legitimasi. Fungsi legitimasi adalah melindungi penguasa dari tuntutan saingannya serta kritik-kritik potensial. Jadi legitimasi harus dilihat pada isi dan akibatnya [9]

Prinsip yang harus dijunjung tingggi dalam penyelesaian sengketa di Peradilan dan di luar peradilan di Negara Hukum adalah;

1. Prinsip legalitas bahwa penyelesaian sengketa hukum berlandaskan kepada norma hukum dan hukum positif yang berlaku.

2. Prinsip keadilan bahwa disamping peyelesaian sengketa bertujuan menegakan hukum positif yang berlaku, tetapi juga harus diperhatikan rasa keadilan dari pencari keadilan dan masyarakat.

3. Prinsip persamaan hak di hadapan hukum pihak-pihak yang bersengketa mempunyai akses[10] yang sama untuk memperoleh keadilan oleh Negara Hukum

4. Prinsip kebebasan dan tidak memihak yaitu pengambilan keputusan adalah murni pencerminan dari hati nurani pemberi keadilan (baca: hakim) yang tidak berpihak kepada kepentingan di luar forum penyelesaian sengketa.

5. Prinsip penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat, dan murah, dan ramah/ friendly.

Pemasalahan yang terungkap di tengah masyarakat adalah sulitnya pencari keadilan (justitiabelen),[11] memperoleh Hukum dan keadilan seperti yang dicita-citakan oleh hukum. Ini diasumsikan sebagai akibat formalitas hukum yang berlebihan. Seperti di keluhkan masyarakat sebagai temuan di lapangan seperti;

a. lamanya proses peradilan

b. berbelitit-belitnya procedural hukum;

c. sulit mendapat akses keadilan;[12]

d. tidak transparannya di dalam beaya berperkara;

e. aparat hukum yang tidak ramah/friendly[13];

f. mafia peradilan;

Permasalahan ini menjadi beban tersendiri yang harus ditanggung oleh warga negara dalam upaya pencarian keadilan (justitiabelen) .

Studi kasus teranyar adalah Kasus Prita Mulia Sari Vs Rumah Sakit OMNI Internasional, Tanggerang, Jawa Barat (2009)[14] yang mana telah memperoleh vonis Pengadilan Negeri Tanggerang- Jawa Barat. Kasus berawal dari Prita Mulia Sari, karena niscaya terhadap system penegakan hukum dan perlindungan hukum, ia menempuh jalur informal mengungkapkan keluhannya kepada rekan-rekan nya dalam jaringan social-maya (cyber-columnist) di facebook, ia bercerita tentang kerugian yang dideritanya dari pelayanan runah sakit yang diterima. Sehingga menurut versi Rumah Sakit OMNI Internasional merupakan bagian dari pencemaran nama baik yang terancam pidana.

permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut;

a. Apakah beban social yang ditanggung oleh masyarakat pencari keadilan dalam Negara Hukum Formalisme?

b. Bagaimana masyarakat mensikapi beban-sosial dari upaya pencarian keadilan dan perlindungan hukum?

c. Apakah kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam tipe Negara Hukum formil?

d. Apakah system peradilan yang ada telah menjalankan fungsi sesuai dengan prinsip penyelesasian sengketa.

e. Bagaimana system hukum mensikapi kelemahan-kelmahan dalam penerapan Tipe Negara Hukum Formil?

penelusuran

Ajaran Filsafat Postmodren

Ajaran fisafat yang digunakan adalah filsafat Postmodern yaitu ajaran filsafat yang memberikan kritisi terhadap paham legisme (positivism). Seperti kita ketahui kaum legisme selalu bertumpu pada hukum formil, karena pembuatan hukum formil secara tradisi lebih bertujuan untuk memperoleh legitimasi[15] dan diterima public dari pada hukum materil. Kaum legisme (positivism), akan selalu menggangap hukum adalah hasil dari pembuatan hukum yang formil misalnya di DRR dalam produk Undang-undang, dan Keputusan TUN di birokrat. Sehingga Hukum Materil dapat di anulir dari Kaum Legisme ini.

Ajaran Hukum Kritis (critical legal studies) merupakan perombakan (deconstruction) terhadap sebuah system hukum yang telah mapan (positif) seperti pernyataan Roberto Manggaberia Uger[16] menyatakan bahwa: the critical legal studies movement has undermined the central idea of modern legal though and another conception of law in their place. Ajaran Hukum Kritis merupakan ajaran Realisme hukum. Metode filsafat yang digunakan adalah scientific-rational.[17] Sedangkan metode berfikir aliran legisme seperti Kelsen di Jerman dengan ground norm adalah abstrak-silogisme.[18]

Apa bila kita menarik garis perkembangan filsafat maka kritis terhadap ajaran legisme pernah dilakukan oleh kaum sociologies di Eropa menghasilkan ajaran sociology of law dan di Amerika Serikat berkembang Sociological Jurisprudence Tetapi sosiologi hukum dalam filsafat ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan tersendiri, yang pada awalnya berasal dari filsafat. Ajaran postmodern atau dalam hal ini critical legal studies tetap meletakkan hukum pada proposionalnya dengan asumsi bahwa law is the law (hukum tetap adalah hukum) walau pun, critical legal studies melakukan banyak bantuan dari cabang ilmu hukum lain.

Perbedaaan yang mendasar dalam sosiologi hukum dengan critical legal studies adalah metode pendekatan keilmuan, critical legal studies adalah cabang dari filsafat dan merupakan abstrak yang mengunakan logika (scientific). Fisafat postmodern masih berada ilmu filsafat yang mana merupakan cara berfikir silogisme dengan mengunakan permis-premis yang di kaji secara inductive dan deductive. Berfikir secara syllogism ini menjadi dasar pemikiran ajaran critical legal studies, walaupun berada dalam realism hukum.

Sosiologi Hukum adalah ilmu empiris, perkembangan sosiologi digunakan sebagai ilmu pembantu dalam ilmu hukum, menjadi cabang ilmu sosiologi hukum, Sosiologi Hukum dinyatakan sebagai merupakan multidisipliner yang mengunakan dua variable yaitu dependent variable dan independent variable. Variable yang di kuantitatif dinyatakan dependent variable, sedangkan variable yang kualitatif dinyatakan sebagai independent variable, berdasarkan variable ini-lah dapat diberikan analisa terhadap fenomena social.

Penganut ajaran critical legal studies, mengganggap hukum di sepanjang era abad 20 sebagai proses pembiaran terhadap ketidak adilan, ketidaknyataan, dan ketidak tertiban. Penganut ajaran ini menyatakan bahwa hukum telah ditruh di tempat di awing-awang yang tinggi dimana semua justiabelen (pencari keadilan) harus menengadah, tanpa dapat menjangkaunya, dalam arti pencari keadilan tidak pernah merasakan lezatnya rasa keadilan dalam arti sebenarnya-benarnya[19]

Metode filsafat yang dipakai dalam hal ini adalah metode logika deductive, serti yang pernah dilaksanakan oleh Philip Nonet dan Philip Zelnick pada decade 1978, yang mana menghubungkan hukum dan kekuasaan poltik formal[20]. Mereka menyipulkan ajaran hukum transisi

Ajaran hermeneutic[21] yang menyatakan bahwa hukum dogmatic berasal dari bahasa dan tata bahasa (linguistic), oleh karena itu perlu dilaksanakan interpertasi/ penafsiran bahasa. Kalimat dalam dokumen hukum terdiri dari teks dan makna. Makna yang terkandung dalam dokumen hukum dapat di interprestasikan secara central dan makna lain. Makna tersebut menjadi kompetisi dari kekuasaan hukum (aparat hukum dan penguasa) dengan pihak lain. Dalam ilmu tafsir dikenal adanya qias, yaitu penafsiran terhadap ayat Al Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain dalam Al Qur’ an. Demikian pula dengan penafsiran dari hukum dapat ditafsirkan dengan linguistic ilmu hukum sendiri atau non hukum.

Ajaran Hermeneutic sangat penting pendukung logika deductive, yang mana hukum tidak dapat ditelaah secara matematis, tetapi secara logika penafsiran (kualitatif), kemudian deduktif adalah menyokong metode pengambilan kesimpulan.

Konsep Negara Hukum

Seperti telah dijelaskan dalam Bab 1. Pendahuluan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum. Mengakibatkan hukum sebagai kekuasaan tertinggi di atas kekuasaan Negara. Konsep Negara hukum banyak ditafsirkan oleh berbagai rezim yang berkuasa sehingga di laksanakan dengan berbagai tipe Negara Hukum.

Konsep Negara Hukum bertujuan Perlindungan Hukum terhadap Warga Negara dan HAM, yang selaras dengan cita-cita Negara. Untuk mencapai tujuannya maka berjalanlah sistem hukum.

Pencari keadilan (justitiabelen)

Pencari keadilan adalah warga Negara yang terkait kasus hukum. Secara stratifikasi social maka pencari keadilan disini adalah masyarakat yang berada di stratifikasi social tingkat menegah ke bawah. Sehingga kesulitan mereka secara stratifikasi social mengakibatakan menjadi kelompok marginal.



[1] Hal ini merupakan Konsep Negara Hukum yang mana memiliki paradikma menghormati supermasi hukum, atau dengan kata lain hukum sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan masalah di masyarakat (ajaran Pound, tentang laws as a tools social engineering)

[2] Lihat Pembukaan UUD 1945 alinea Keempat.

[3] Kurniawan Harry (2009), Konsep Negara Hukum Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia

[4] Ajaran tipe negara hukum formil disebut juga sebagai aliran filsafat legisme

[5] Lembaga terjemahan dari institution yang merupakan wadah social kemasyarakatan berdasarkan ilmu sosiologi, hukum menurut ilmu tersebut adalah merupakan lembaga social/social institution.

[6] System hukum ajaran yang mengibaratkan hukum sebuah mekanisme, yang terdiri dari perangkat kerja masing-masing yang dioperasikan agar sesuai dengan tujuan hukum. Seperti dikenal System Hukum Eropa Continental, Anglo-Saxon, Hukum Islam, Hukum Adat dan lain-lain. Sebagai sebuah system akan selalu membawa kelebihan dan kekurangan- nya masing-masing.

[7] Bercorak campuran disini dengan asumsi pembentukan hukum di Indonesia tak terlepas dari tradisi ketatanegaraan, dari yaitu telah terjadinya suksesi Negara sehingga berlakulah system hukum yang berasal dari Negara sebelum terjadi suksesi, disamping itu ditengah masyarakat dan Negara masih diakui hukum local yang idengtik dengan hukum adat.

[8] Lihat dalam hal. 16, Mulyana W. Kusuma (1986), Persfektive, Teori, \Dan Kebijaksanaan Hukum, PT Rajawali, Jakarta.

[9] Ibid.

[10] Memperoleh akses keadilan sekarang berubah parfadikma dari memperoleh akses keadilan untuk kepentingan hukum dan Negara kepada memperoleh akses keadilan untuk kepentingan kemanusiaan (HAM). Lihat Kurniawan Harry, opcit. Hal 3

[11] Soerjono Sukamto (1993), Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 29

[12] Sulit memperoleh akses keadilan karena faktor ekonomi, politik dan kekuasaan, atau disebut sebagai kelompok marginal di masyarakat.

[13] Ibid, hal 53, Soerjono Sukamto, menjelaskan ada dua pola interaksi aparat penegak hukum menurut hubungan sosiologis, yaitu pola ingteraksi dan pola isolasi. Pola isolasi dinyatakan sebagai aparat yang tidak ramah atau tidak bersahabat karena lebih menonjolkan sisi kekuasaan daripada sebagai pelayan masyarakat,

[14] Sumber media masa nasional.

[15] Legitimasi artinya disahkan dan diakui

[16] Dalam buku; Munir Fuady (2005), Filsafat Dan Teori Hukum Postmodern, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid, hal. 5

[20] Anom Surya Putra. (2003), Teori Hukum Kritis, Stuktur Ilmu Dan Riset Teks, PT Citra Aditya Bakti, Bandung

[21] Hermeneutic artinya tafsiran tentang sesuatu., ibid. hal 56