Senin, 08 Agustus 2011

Menelaah Peraturan Daerah Bermasalah

Menelaah Materi Peraturan Daerah Yang Bermasalah

Oleh: ANTON ROSARI.


A. Dasar pemikiran

Era reformasi yang bergulir semenjak 1998, ditandai jatuhnya idealis sentralisme di lingkungan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi era disentralisasi. Pada era ini berimplikasi pada eforia di kalangan Pemerintahan Daerah. Beberapa pemerintah daerah oleh idealisme demi kepentingan pembangunan dan dalam rangka membentuk masyarakat madani, berlomba membuat sejumlah Peraturan Daerah yang disinergikan dengan beberapa kepentingan di daerah.

Pembuatan Peraturan Daerah ini secara hukum formil tidak dilarang karena merupakan amanat dari Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Walaupun demikian Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tersebut juga mengamanatkan bahwa Materi Muatan Peraturan Daerah tersebut haruslah tidak bertantangan dengan sejumlah peraturan yang lebih tinggi secara hirarkis dan juga dalam hal materi muatan Peraturan Daerah yang tidak diatur spesifik oleh materi muatan perundang-undangan lainya. Dengan kata lain kewenangan pemerintah daerah membuat hanya Peraturan Daerah berdasarkan azaskan otonomi, sedangkan azas dekonsentrasi dan madebewin dalam pemerintah daerah harus bersirnergi dengan peraturan atasan.

Dilema yang terjadi di lapangan karena eforia pemerintah daerah tersebut mengakibatkan Peraturan Daerah yang dibuat bersinggungan dengan aspek tata pemerintahan, tata perundang-undangan juga aspek kemasyarakatan dari sisi aspek pemerintahan ditemukan peraturan daerah tersebut sudah tumpangtindih dengan sejumlah peraturan yang lebih tinggi, sehinga tidak efektif lagi untuk dilaksanakan dilapangan juga menyulitkan bagi stake holder yang menjadi subjek dari peraturan tersebut. Misalnya Peraturan Daerah tentang Pertambangan, dengan tujuan ekonomis adalah pemungutan beberapa restribusi bahan tambang, yang dipungut dengan bermacam-macam Peraturan Daerah, mulai dari kegiatan penambangan, pengangkutan, pen-doch-an (pengumpulan), disertai pungutan-pungutan lainya. Yang sebenarnya subtansi Peraturan yang dibuat telah diatur oleh Undang-undang Pertambangan dan peraturan terkait. Secara tata laksana nyata Pemerintah Daerah tidak memberikan imbal balik kepada pengusaha dari restribusi yang di punggut berupa pelayanan publik. Kemudian dari sisi Aspek kemasyarakatan beberapa Peraturan Daerah yang dibuat banyak yang menyinggung perasaan masyarakat di daerah seperti dalam rangka kemaslahatan umat, maka Peraturan Daerah tertentu banyak yang dibuat untuk mengikat umat agama tertentu juga tanpa memperhatikan aspek pruralisme beragama, seperti Peraturan Daerah tentang larangan maksiat, Peraturan Daerah tentang larangan tidak menggunakan jilbab, Peraturan Daerah tentang baca tulis Al-Quran yang bernuasa agama tertentu yang belum tentu seluruh umat dari kota/ kabupaten tersebut setuju memgunakan agama tersebut sebagai landasan pembentukan Perda. Dengan alasan yang sama beberapa daerah mengatur tentang pelaranngan Agama Ahmadiah; ini merupakan bagian arogansi daerah tampa dasar hukum yang jelas san hanya didorong oleh semangat polik semata dan ketakutan untuk ditinggalkan konstituennya. Peraturan daerah ini sebagai tindak lanjut dari perang sipil antara sekelompok golongan masyarakat bersenjata dengan jemaaat Ahmadiah yang terjadi di Tumenggung Propinsi Banten pada tahun 2011, yang mencoreng muka aparat penegak hukum karena kealpaannya mengakibatkan perang sipil ini terjadi.

Kemunculan Peraturan Daerah tersebut dibuat dengan berbagai alasan yang dapat dilihat pada konsideran Peraturan Daerah tersebut. Hal ini lah yang perlu diteliti sesuai dengan konsep keilmuan yang ada terutama di bidang Hukum

B. Permasalahan

Berdasarkan dasar pemikiran di atas maka permasalahan diangkat dalam tulisan adalah:

1. Bagaimana pengaturan materi muatan Peraturan Daerah oleh hukum positif di Indonesia?

2. Bagaimana pengawasan Peraturan Daerah yang bermasalah?

3. Bagimana kontrol sosial terhadap Peraturan Daerah yang bermasalah.?

C. Tujuan dan Manfaat Tulisan

Tujuan Tulisan adalah :

1. Untuk menganaliasa pengaturan materi muatan Peraturan Daerah oleh hukum positif di Indonesia.

2. Untuk menganalisa pengawasan Peraturan Daerah yang ada.

3. Untuk menjabarkan kontrol sosial terhadap Peraturan Daerah.

Manfaat Tulisan adalah:

1. Bermanfaat bagi pekembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Hukum Pemerintahan Daerah dan Ilmu Perundang-undangan.

2. Bermanfaat bagi stake hoder dilapangan terutama kalangan birokrat dan pengambil kebijakan.

3. Bermanfaat bagi peneliti untuk kompentesi keimuan yang dimiliki.

D. Metode Penelitian

Tulisan ini diangkat berdasarkan penelitian mandiri yang mana, Penelitan bersifat yuridis explanatoris yang artinya menganalisa penerapan peraturan di lapangan. Tipe penelitian adalah empiris artinya menganalisa penerapan hokum positif yakni law in book and law in action di lapangan. Analisa data dilakukan secara kualitatif adalam arti bahwa data yang diambil bukan berupa data perhitungan dan angka-angka tetapi data kualitatif yang bersifat subjektif. Kemudian pengolahan data dan dianalisa berdasarkan pengukuran kualitas yang didasari oleh unsur-unsur dari pasal peraturan perundangan dan teori hukum dan azas yang ada. dengan kata lain melakukan legal interprestation secara simentik/linguistik) Kesimpulan diambil dengan metode deductive.

E. Tinjauan Kepustakaan

I. Teori Hukum Hirarki Norma dan Teori Residu

Teori Hukum Hirarki Norma dikemukakan oleh Hans Kelsen (2006), bahwa hukum harus didasari oleh landasan idea-filosofis ldan normatif, teori ini menjelaskan perlunya pembentukan peraturan perundang-undangan didasari oleh hirakis peraturan perundang-undangan (stufenbau des rechts) berdasarkan norma positif yang berlaku dan pentingnya keabsahan kewenangan lembaga pembuatan peraturan sebagai syarat formil juga syarat meteril dari pembentukan peraturan terutama tujuan dan manfaat peraturan.

Teori residu maksudnya bahwa tidak semua subtansi peraturan perundang-undangan menjadi materi Peraturan Daerah, tetapi hanya didasari kewenangan yang diizinkan perundang-undangan atau dilaksanakan pemerintah daerah secara otonomi yang dijadikan materi peraturan daerah secara terbatas. Dapat dilihat penerapannya oleh pasal 12 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

II. Defenisi Operasional;

Peraturan Daerah yang dimaksud sesuai dengan ketentuan pasal 7 angka 2 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu;

1. Peraturan Daerah Propinsi yang dibuat oleh DPRD Propinsi bersama Gubernur;

2. Peraturan Daerah Kabupaten dan kota yang dibuat oleh DPRD Kabupaten /Kota bersama Bupati/Walikota;

3. Peraturan Desa yang dibuat Badan Perwakilan Desa atau nama lainya bersama Kepala Desa atau nama lainya.

Produk legislasi (regel gaving) di daerah dibedakan atas dua secara teori yaitu Peraturan Kepala daerah dan Peraturan Daerah, kedua peraturan ini sama-sama produk daerah tetapi proses pembuatannya berbeda. Peraturan Daerah akan diawasi oleh Menteri Dalam Negeri sebagai fungsi pengawasan produk hukum di daerah. Sedangkan apabila peraturan tersebut bertantangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan merugikan sekelompok masyarakat maka upaya yang ditempuh adalah melakukan Judicial Review di Mahkamah Agung, ini di dasari kompetensi Mahkamah Agung untuk menguji peraturan secara hirarki dibawah Undang-undang.

III. Azas dan Tata Laksana

A. Hamid. S. Attamimi (dalam Yuliandri; 2009) Azas pembentukan perundang-undangan yang baik adalah azas hukum yang memberi pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan, kedalam bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam penggunaan metodenya , serta mengikuti proses dan prosedur pembentukan yang telah ditentukan.

Van der Vlies (ibid) membagi dua azas yakni azas-azas formal dan azas materil. Azas formal meliputi: “het beginsel van duidelijke doelstelling, beginsel van het justite orgaan, het noodzakelijkheids beginsel, het beginsel van uitvoerbaarheid, het beginsel van consensus” selanjutnya azas materil: “het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek, het beginsel van de kenbaarheid, het rechtsgelijkheidsbeginsel, het rechtszek erheidbeginsel, het beginsel vande individuele rechts bedeling”

A Hamid S. Attamimi (ibid) berpendapat bahwa azas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut, khususnya dalam ranah ke –Indonesia-an, terdiri dari: Cita-cita Hukum Indonesia; Azas Negara berdasarkan hukum dan Azas Pemerintahan berdasar konstitusi; dan azas-azas lainnya

Azas yang terkandung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dalam pasal 5, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni: azas kejelasan tujuan; azas kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat; azas kesesuaian antara jenis dan muatan; azas dapat dilaksanakanan; azas kedayagunaan dan hasil guna; azas kejelasan rumusan; dan keterbukaaan. Kemudian lebih lanjut tentang materi pembentukan peraturan perundang-undangan dijelaskan oleh pasal 6, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni azas pengayoman; azas kemanusiaan; azas kebangsaaan; azas kekeluargaaan; azas kemanusiaan; azas kenusanteraan; azas kebineka tunggal ika; azas keadilan; azas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintrahan; azas ketertiban dan kepastian hukum dan atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Lebih spesifik dijelaskan dalam Pasal 12 yakni materi Muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabatan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur lebih lanjut mengenai Peturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam BAB VI.

Otto, dkk, (Yuliandri: 2009) menyebutkan permasalahan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di negara berkembang dibedakan menjadi dua bagian:

1. A first set of problems has to do with the roles and legitimacy of law makers and of the law making process as such.

2. The second set of problems relates to the effectiveness of legislation in society.

Pengujian Peraturan Daerah secara materil dilakukan oleh Mahkamah Agung sesuai dengan Kompetensi Pemeriksaan pada Pasal 145 angka 5. Lebih lanjut dinyatakan pembatalan Perda dilakukan dengan Peraturan Presiden apabila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

F. Hasil Temuan dan Pembahasan

Beberapa temuan Materi Peraturan Daerah di lapangan temukan bermasalah adalah:

1. Peraturan Daerah berkaitan dengan perizinan, investasi dan perdagangan;

2. Peraturan Daerah berkaitan dengan masalah social kemasyarakatan; (disini tidak ditunjukan nomor Peraturan Daerah dan daerah pembuatan Perda dalam kerangka objektivitas keilmuan).

kajian normative pengaturan mengenai pembuatan Peraturan Daerah adalah Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tantang Pemerintahan Daerah. Secara teoritis seperti dikemukakan di atas pembuatan Peraturan Daerah didasari beberapa teori yang melandasinya diantaranya teori Hukum Hirarki Norma dan Teori Residu.

Diantara muatan Peraturan Daerah tersebut dianalisa berseberangan dengan Teori Hukum Hirarki Norma dan Teori Residu, dibuktikan dengan terlampau arogansi daerah menerbitkan Peraturan Daerah yang bermasalah tanpa melalui pemikiran yang mendalam sehingga menyulitkan masyarakat dan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat yang memicu konflik sosial. Beberapa ada Peraturan Daerah yang over productive sehingga tidak jelas tujuannya berkaitan dengan kewenangan yang diatur oleh peraturan tersebut dan bebarapa diantaranya melanggar Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berkaitan dengan materi muatan Peraturan Daerah dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tantang Pemerintahan Daerah. Secara nyata berkaitan pelanggaran beberapa azas dari peraturan tersebut.

Kewenangan dalam bidang pengawasan tidak dijelaskan peraturan perundang-undangan secara explisit, hanya dinyatakan bahwa Pengujian Peraturan Daerah secara materil dilakukan oleh Mahkamah Agung sesuai dengan Kompetensi Pemeriksaan pada Pasal 145 angka 5. Lebih lanjut dinyatakan pembatalan Perda dilakukan dengan Peraturan Presiden apabila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Oleh Presiden sebagai executif menyerahkan pengawasan Peraturan Daerah oleh Kementrian Dalam Negeri.

Materi Muatan Peraturan Daerah diuji di Mahkamah Agung, inilah yang menjadi kendala yang nyata karena seluruh komponen warga masyarakat tidak dapat dipastikan partisipasinya dalam mengawasi muatan Peraturan Daerah, karena berkaitan dengan budaya hukum masyarakat dan keberadaan pendanaan untuk mengontrol Peraturan Dearah sehingga walau ada masalah dirasakan warga masyarakat berkaitan dengan Peraturan Daerah pada dirinya, mereka tidak berdaya untuk menganalisa subtasi dari Peraturan Daerah.

Freire (1970) (dalam Mansoor Fakih; 2006) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang didasarkan pada pandangan terhadap tingkat kesaadaran masyarakat. Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah ”proses memanusiakan manusia kembali” gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan soisial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan masyarakat mengalami proses ” dehumanisasi ” Freire mengkritic bahwa pendidikan (formalitas) sebagai bagian dehumanisasi tersebut, secara rinci Frerie menjelaskan proses dehumanisasi dengan menganalisis diri mereka sendiri Friere menggolongkan kesadaran manusia menjadi; kesadaran magis (magical consciussness); kesadaran naif (naival consciusness): kesadaran kritis (critical consciussness). Perlunya kita merujuk dari pendapat Friere, di atas bahwa Peraturan Daerah adalah merupakan produk hukum yang autonomi merupakan produk hukum yang lansung dekat kepada stake holdernya. Ini diakibatkan karena produk hukum tersebut berasal dari sebuah sistem desentralisasi. Salah satu tujuan dilakukan desentralisasi adalah mempercepat pembangunan agar tercipta pembangunan yang tepat sasaran dan demokratis. Tetapi legalitas formil terkadang menimbulkan apa yang disebut oleh Freire sebagai dehumanisasi, sehingga produk hukum tersebut dinyatakan sebagai suatu yang benar dan absolut. Sehingga proses dehumanisasi terjadi disini sebagai akibat pembuatan peraturan. Kenyataan produk hukum seperti Peraturan Daerah tersebut masih meninggalkan masalah dalam hal pelaksanaanya. Beberapa dintaranya menjadi pemicu konflik di masyrakat.

Sikap dan Ajaran legalitas formal yang mempengaruhi pembuat peraturan kita akan mengancam kenyamanan, kesejahteraan, kesuritauladanaan (etika), pola pikir (estetika), seni, kreativitas dan lain sebagainya yang merupakan aura positif. Sehingga Mereka yang berpendapat bahwa hukum dinyatakan sebagai nilai matematis bukan bersifat presciptif yang didasari citarasa dan seni. Gramsci (dalam Anom Surya Putra; 2003) bahwa hukum harus bebas dari absolutisme dan sisa perasaan wacana teransedentalisme dan dalam praktek di setiap fanatisme moralistic. Negara dalam hal ini sebenarnya tidak pantas menghukum dan menghukum aktifitas manusia lainnya dikecualikan sebagai kriminal, (lihat; azas legalitas; Pasal 1 KUHP) dalam hal ini urusan kemaslahatan umat negara tidak perlu bertindak lebih jauh dengan membuat peraturan demi peraturan yang memberatkan masyarakat. Aktivitas manusia dalam hal ini seni, religius, berekonomi dan berpolitik tidak merupakan wacana hukum (subtansi) yang harus menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk dalam hal ini Peraturan Daerah, Karena hukum dalam arti mengatur (regulation) dapat disalah interprestasikan sebagai hukum yang memaksa (law enforcement) yang bersifat absolut dan bersifat penanganan criminal sehingga peraturan daerah. Dan perlu dicermati pembuatan Peraturan Daerah janganlah seolah-olah criminalisasi kegiatan kelompok masyarakat terentu oleh golongan masyarakat lainnya.

Pernyataan di atas dikarenakan penanganan atau pelaksanan Peraturan Daerah dilapangan yang dilakukan secara arogan berbau penanganan kriminal (law enforcement). secara Normatif sanksi yang dijatuhkan oleh Peraturan Daerah ada yang berupa sanksi pidana seperti dinyatakan dalam pasal 14, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tetapi haruslah dipikirkan oleh pembuat peraturan secara selektif terhadap criminalisasi perbuatan dan aktifitas masyarakat yang diatur Peraturan Daerah tersebut sehingga dinyatakan kriminal.

Sebuah legal critic dan pertanyaan besar di sini apakah Pemerintah Daerah membuat Peraturan Daerah untuk tujuan yang mulia atau untuk sekedar memenuhi target pelaporan kegiatan ligislasi di daerah, yang dalam hal ini dapat signifikan dengan diisinya pundi-pundi pejabat terkait. Dapat pula untuk tujuan melakukan criminalisasi kegiatan masyarakat tertentu, yang tidak jelas bagi kepentingan hukum secara umum.

Penerapan hukum yang lokal bersifat autonomi (dalam Philip Nonet and Philip Zelnich) haruslah sistem hukum itu sendiri yang menjadi perencana, pembuat peraturan, pelaksana dan penegakan, dan evaluative, dan pengawasaan, karena sifatnnya yang autonomi dalam kajian ini bahwa apabila ada Peraturan Daerah yang bermasalah dengan komponen masyarakat di daerah, maka komponen masyarkat di daerah harus cepat memulihkan keadaan tanpa menunggu keputusan lain yang bersifat pengawasan atasan atau keputusan yudisial. Kontrol sosial dalam bidang pengawasaan Peraturan Daerah merupakan langkah responsif yang ditungggu oleh masyarakat karena seperti kita kemukakan di atas tidak semua lapisan masyarakat mempunyai daya untuk melawan arus (mengugat atas kekecewaanya terhadap penerapan sejumlah Peraturan Daerah).

Kontrol sosial dapat secara extrime dengan melaksanakan gugatan ke Mahkamah Agung berkaitan muatan Peraturan Daerah SEHARUSNYA dapat dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat di daerah secara personal ataupun berkelompok, ataupun melalui lembaga swadaya masyarakat. Hak ini didapat berdasarkan pasal 145 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemnerintahan Daerah, dan menjadi kompetensi Mahkamah Agung untuk melaksanakan pengujian materil Muatan Peraturan Daerah. Hak ini yang harus digunakan oleh seluruh Komponen masyarakat. Tetapi sifatnya in casue, menjadi kelemahan dalam pengujian muatan Peraturan daerah, karena dilakukan secara represif bukan responsif.

G. Kesimpulan

1. Secara Normatif Materi Muatan Peraturan Daerah didasari pasal 12 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur lebih lanjut mengenai Peturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam BAB VI. Secara teoritis terbukti bahwa meteri pembuatan perda didasari oleh teoeri hukum murni dan teori residu sehingga perda yang dibuat tidak bertentangan dengan hukum positif yang ada dan efektif dilaksanakan dimasyarakat.

2. Pengawasan Peraturan Daerah bermasalah secara explisit tentang materi muatan tidak diatur oleh UU karena hal ini menjadi materi pengujian Peraturan dibawah Perundang-undangan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, pengujian dilakukan secara kasus perkasus (in casue), sedangkan materi berkaitan dengan kewenangan pembuatan dan hirarkis peraturan dilakukan oleh Presiden dan dibatalkan oleh Peraturan Presiden.

3. Pengawasan Peraturan Daerah bermasalah dilakukan oleh komponen masyarakat dengan dasar pasal 145 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga masyarakat sangat ditunggu partisipasinya dalam mengontrol Peraturan Daerah dan Budaya Hukum masyarakat. Ini menjadi ketidak efektifan dalam pengawasan Peraturan Daerah. Karena politisasi dipusat maupun di daerah mengakibatkan adanya standar ganda dalam pengujian materil dari peraturan, mengakibatkan hukum responsif sulit ditegakkan.

H. Saran

1. Berkaitan dengan teori hirarki peraturan dan teori residu, maka Peraturan daerah yang baik adalah peraturan yang didasari dengan teori tersebut, terutama dalam pemikiran pembuat hukum dan pengambil kebijakan. Disarankan sebelum membuat peraturan dilakukan simulasi peraturan apakah peraturan tersebut layak diterapkan atau tidak sebagi pelaksanaan dari azas kepatutan seperti dinyatakan Attamimi.

2. Perlunya masyarakat diberikan kesempatan lebih dalam partisipasinya mengawasi peraturan, juga sebagai bentuk ciri khas dari local regulation berbasis autonomi. sehingga tingkat kepentingan dan mafaat masyarakat terhadap peraturan dapat diapresiasi positif.

3. Perlunya evaluasi terhadap peraturan daerah yang bermasalah sebagai langkah responsive pemerintah daerah bukan menunggu peraturan diuji oleh Mahkamah Agung secara in casu atau di batalkan pemerintah.

I. Kepustakaaan

Brugginki J.J.H. 1999. Refleksi Tentang Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bird Richard and Vaillancourt Francois . 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Fuadi Munir. 2005. Filsafat dan Teori Hukum Post Modren, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fakir Manssur. 2006. Runtuhnya Teori Pembanguan dan Globalisasi, Pustaka Relajar, Yokyakarta.

Ibrahim Johnny. 2006. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. II, Bayumedia, Surabaya.

Kelsen Hans. 2006. Teori Umum tentang Negara dan Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung

..................... .2008. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Cet VII, Penerbit Nusa Media, Bandung.

..................... .2008. Dasar-dasar Hukum Normatif Prinsip-Prinsip Teoritis Untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, Cet. I, Penerbit Nusa Media, Bandung.

Mahmud M Peter. 2006. Penelitian Hukum, Cet. 2. Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Mahfud MD Moh. 2006. Politik Hukum Di Indonesia, Cet III, PT Pustaka LP3ES, Jakarta.

Surya Putra Anom. 2003. Teori Hukum Kritis; Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Suyamto. 1990. Presfektif Otonomi Daerah, PT Rineka Cipta, Jakarta

Sugiarto Indro, et all .2003. Pedoman Praktis Gugatan Class Action (Perwakilan Kelompok), ICEL, Jakarta.

Thaib Dalan, et all. 2001. Teori dan Hukum Konstitusi, Cet II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Wajong. J. 1975. Azas Dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Penerbit Jembatan, Yokyakarta.

Yuliandri. 2009. Azas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta

Perundang-undangan:

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundagundangan

Nama:

Anton Rosari, SH., MH

NIP : 132316688

e-mail : anton.rosari@yahoo.co.id

pekerjaaan: Dosen Fakultas Hukum UNAND

kantor : Fakultas Hukum Universitas Andalas bagian Hukum Administrasi Negara.

Telp : (0751) 8222223 HP; 081267994116.